Minggu, 07 Agustus 2011

Pengambilan Keputusan Dalam Menghadapi Dilema Etik


Buku Sumber :
1. Jones, Shirley R. 2000. Ethics In Midwifery. Second Edition. Mosby
2. Bertens, K. 2001. Etika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
3. Pengurus pusat IBI. 2001. 50 Tahun IBI Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta.
4. Taher, M.D, Tarmizi. 2003. Medical Ethics, Manual Praktis Etika Kedokteran Untuk mahasiswa, Dokter Dan Tenaga Kesehatan. Gramedia, Jakarta.

A. Pendahuluan
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak sistem etika, artinya banyak uraian sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat moralitas dan peranannya dalam hidup manusia. Dalam konsep kerangka kerja pertimbangan moral, membutuhkan eksplorasi hal ini digunakan sebagai panduan bagi bidan dalam pembuatan keputusan dan melakukan sesuatu yang benar. Menurut UKCC (1992) kode etik profesi dianggap sebagai suatu kerangka kerja pertimbangan moral. Hal ini diformulasikan dengan memperhatikan kepada prinsip-prinsip etika secara luas oleh profesi (Hussey, 1996) dan menyediakan standar yang diharapkan bagi prilaku professional (ENB, 1997).

B Uraian Materi

Definisi Dilema Moral
 Menurut Campbell (1984)
Moral dilemma adalah situasi dimana seseorang dihadapkan pada dua alternatif pilihan dimana tidak ada jalan keluar yang memuaskan pada masalah tersebut.

 Johnson (1990)
Menyatakan hal tersebut merupakan keadaan yang terdiri dari dua pilihan yang seimbang, dengan kata lain, dilemma merupakan keadaan yang dihadapkan pada persimpangan yang serupa atau bercabang denagn petunjuk yang tidak jelas.

 Oxford Learner’s Pocket Dictionary (1995)
Moral dilemma is concerning principles of right and wrong in difficult situation in which one has to choose between two things.

Dalam konsep kerangka kerja pertimbangan moral, membutuhkan eksplorasi hal ini digunakan sebagai panduan bagi bidan dalam pembuatan keputusan dan melakukan sesuatu yang benar. Menurut UKCC (1992) kode etik profesi dianggap sebagai suatu kerangka kerja pertimbangan moral. Hal ini diformulasikan dengan memperhatikan kepada prinsip-prinsip etika secara luas oleh profesi (Hussey, 1996) dan menyediakan standar yang diharapkan bagi prilaku professional (ENB, 1997).

Beucamp & Childress (1989) menjelaskan empat tingkat kerangka kerja pertimbangan moral dalam pengambilan keputusan menghadapi dilema etik. Keempat tingkat pendekatan ini menggunakan pendekatan etika yang sebelumnya disebut ‘Etika Normative’.

Tingkat I - keputusan dan tindakan
Pada saat bidan dihadapkan dengan dilema etik, mereka membuat keputusan dan bertindak didasarkan atas keputusan yang dibuat berdasarkan intuisi dan umumnya bidan mereflesikan pada pengalamannya atau pengalaman rekan kerja.

Tingkat II - Peraturan
Peraturan disini didefinisikan dalam kerangka kerja adalah kaidah kejujuran (berkata benar),privasi,kerahasiaan dan kesetiaan (menepati janji). Bidan sangat familiar dengan aturan sebagaimana mereka menyatu dengan kode etik profesi, dan panduan prakek profesi yang membantu dalam interpretasi dari kode etik tersebut.

Tingkat III - Prinsip
Terdapat empat prinsip etika yang umumnya digunakan dalam perawatan kesehatan dan praktek kebidanan khususnya , antara lain :
1. Autonomy - memperhatikan penguasaan diri, hak akan kebebasan dan pilihan individu
2. Benefience - memperhatikan peningkatan kesejahteraan klien selain itu berbuat yang terbaik untuk orang lain
3. Non-maleficence - tidak menimbulkan penderitaan ataupun kerugian pada orang lain dan yang yang terpenting jangan membuat kerugian
4. Justice - memperhatikan keadilan, pemerataan beban dan keuntungan.
(Beaucamp & Childress1989, Richard 1997)

Tingkat IV – Teori etik
Terdapat 4 teori etik yang terkenal
1. Teori Utilitarian (Teori Teleology)
Dipercayai bahwa semua manusia memiliki satu kesamaan, mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Seseorang yang melakukan suatu aktifitas akan, pada akhirnya, membawa ,ereka pada kesenngan dan menghindari segala sesuatu yang akan menimbulkan ketidaksenangan.
Teori ini dibagi menjadi menjadi 2 bentuk yaitu :
a. Utilitarisme Perbuatan (Act-Utilitarianism)
Pada bentuk ini setiap perbuatan dinilai berdasarkan konsekuensinya. Maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Bentham, sampai pada the principles of Utility yang berbunyi “The Greatest Happines of The Great Number”.
 Contoh kasus:
Pelaksanaan imunisasi PIN setiap bulan Oktober – November untuk mengeliminasi penyakit Polio di Indonesia.
b. Utilitarianisme Aturan (Rule-Utilitarianism)
seorang filsuf inggris-amerika (Stephen T) menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan yang mengatur perbuatan kita.
 Contoh kasus :
Kasus aborsi teurapeutik yang diberlakukan kepada pasien dengan kondisi tertentu, karena di suatu agama dan hokum tidak dibenarkan tapi ketika kondisi ibu tersebut benar-benar akan mengancam jiwa ibu maka abortus terapeutikus akan sangat dibutuhkan.



2. Teory Deontologi
Deontologi berasal dari kata “deon” yang berarti kewajiban .
Teori deontologi disusun oleh Immanuel Kant (seorang Methaphysician) pada abad 18. Kant memformulasikan teori ini sebagai istilah lain dari hal-hal benar yang harus dilakukan tanpa mempertimbangkan konsekwensinya. Teori Kants merefleksikan bahwa bertindak secara moral memiliki kaitan dengan penghormatan terhadap tugas. Dalam teori ini. Aturan-aturan moral diaplikasikan pada setiap orang. Contohnya : seseorang tidak boleh berbohong pada kondisi apapun (Henry,1996). Kant percaya bahwa rasionalisasi yang mengikat hal ini adalah yang dia sebut sebagai hukum moral tertinggi (Gillon,1992).
• Sebuah tindakan dapat dikatakan bermoral hanya bila diterima oleh setiap orang sebagai hukum yang universal
• Kant percaya bahwa manusia adalah makhluk hidup yang dapat menjadi seseorang yang berotonomi dan memiliki moral rasional dan harus dihormati (Edwards 1996).
 Contoh kasus :
Ketika seorang harus ke suatu tempat, lalu datang seorang bapak yang minta pertolongan bidan agar dapat membantu kelahiran bayinya, maka bidan harus melakukan kewajiban yang dilakukan sebagai seorang bidan.

3. Teori Hedonisme
Hedone dalam bahasa Yunani berarti kesenangan. Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433 – 355 SM), seorang murid Socrates. Socrates telah bertanya tentang tujuan akhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia,tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu dan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan.
Filsuf lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros ( 341 – 270 sm ) yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hedone) sebagai tujuan hidup manusia. Seorang filsuf Inggris, John Locke (1632 – 1794) mengemukakan “kita sebut baik apa yang menyebabkan atau meningkatkan kesenangan, sebaliknya kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan atau meningkatkan ketidak senangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa saja dalam diri kita”.

4. Teori Eudomonisme
Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles (384 – 322 sm). Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiapTeori Eudomonisme
Pandangan ini berasal dari filsuf yunani besar, Aristoteles (384 – 322 sm). Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Sering sekali kita mencari tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Timbul pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi, apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut aristoteles semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini, dalam terminology modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup manusia, adalah kebahagiaan (eudaimonia).
 Contoh kasus :
Ketika seorang bidan di desa menghadapi kasus kegawatdaruratan dalam situasi bingung, takut dan cemas tapi tetap harus mampu melaksanakan penatalaksanaan untuk mencegah kondisi menjadi lebih buruk.


Ciri Keputusan yang Etis :
1. Mempunyai pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang salah.
2. Sering menyangkut pilihan yang sukar.
3. Tidak mungkin dielakkan.
4. Dipengaruhi oleh norma-norma, situasi, iman, tabiat dan lingkungan social.

C. Kesimpulan

Beucamp dan Childress (1989) menjelaskan 4 tingkatan kerangka kerja pertimbangan moral dalam pengambilan keputusan menghadapi dilemma etik yang menggunakan pendekatan etika yang sebelumnya disebut ‘Etika Normative’, yaitu
1. Keputusan dan tindakan
2. Peraturan
3. Prinsip
4. Teori etik


Tidak ada komentar:

Posting Komentar